Tuesday, August 6, 2019

Yuk Bermain dengan Matematika itu Mudah

Kemungkinan, tidak banyak anak sekolah seperti Meitha Hasni. Pelajar satu diantara Sekolah Menengah Atas Negeri di Jakarta itu benar-benar senang angka serta matematika, pelajaran yang buat beberapa orang dapat memusnahkan keinginan makan dalam sekejap.

Saat dulu, nilai matematikanya memang selamanya bagus. " Waktu SMP saya bisa nilai 85 buat matematika, " kata Meitha kemarin. Maka dari itu, ia melawan Ujian Nasional Berbasiskan Computer (UNBK) buat SMA akhir Maret lalu dengan relatif enjoy. Tidaklah ada persiapan privat buat melawan soal-soal matematika. " Sama saja dengan pelajaran lain. "

Meitha senang beberapa angka dalam matematika karena 'jawabannya lebih pasti'. " Kalaupun masalah Bahasa Indonesia semisalnya, dapat ada peluang sejumlah jawaban pilihan yang mungkin saja benar, " ujarnya. Biarpun senang matematika, ada sejumlah masalah ia merasakan persoalan pun semisalnya terkait gradien kesamaan garis lurus serta kesamaan garis singgung lingkaran.

Langkah edukasi matematika di sekolah, menurut Meitha, terkadang kurang asik. " Di sekolah tipe-tipe gurunya, masuk tidak lama, jelasin sedikit, terus memberikan masalah. Materi yang diberi tak selengkap pada tempat les, " ia menjelaskan. Pada tempat arahan belajar, ia merasakan lebih mudah mendalami matematika. " Soalnya tambah enak guru pada tempat les dibanding dengan di sekolah. Lebih dijelasin serta lebih terperinci. Serius dikulik materi-materinya. "

Simak Juga : persamaan trigonometri

Sayangnya, tidak banyak anak Indonesia seperti Meitha. Geometri, trigonometri, matriks, kalkulus, dsb, buat banyak anak sekolah masih membuat mereka 'kehilangan selera'. " Todays test was hell. All of us didn't prepare for this difficulty ugh. What was the gov think? Does they think just bc they gave us hard test we suddenly became brilliant? ? " seseorang pelajar mencuit di Twitter selesai Ujian Nasional buat SMA.

Ada anak tidak senang matematika semestinya bukan kesulitan besar. Tetapi apabila menyaksikan score hasil tes Programme for International Student Assessment (PISA) oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) , laporan aporan Trends in International Mathematics and Science Study (TIMMS) , ataupun penelitian SMERU Research Institute, kita harus mengaku, ada problem dalam wawasan matematika serta langkah pengajarannya di sekolah. " Kita dari dahulu telah ketahui kalaupun matematika kritis. Jadi ini bukanlah desas-desus baru, " kata Muhadjir Effendy, Menteri Pendidikan serta Kebudayaan, waktu lalu.

Nyatanya mereka yang keadaan ekonominya lebih baik serta datang dari wilayah perkotaan kapabilitas matematikanya tidak lebih bagus'
Kalaupun kenyataannya sebagai berikut ini, tidak bingung apabila Niken Rarasati serta sejumlah periset hingga pada ikhtisar kalau negara ini udah 'darurat matematika'. Berdasar data dari Indonesia Family Life Survey (IFLS) yang dilansir Niken, periset dari SMERU, cuma 55, 9 prosen masyarakat Indonesia berusia 28 tahun yang dapat menjawab secara benar masalah matematika simpel semacam ini : 267 + 112 - 189 =. . . . Cuma 66 prosen masyarakat berusia 18 tahun yang berikan jawaban 190. Perbandingan itu tidak banyak beda dengan beberapa anak berusia 8 tahun.

Kala diberi masalah matematika yang dikit lebih sukar yaitu 1/3 - 1/6 =, perbandingan yang berikan jawaban secara benar sekejap terjun bebas. Cuma 8, 9 prosen responden berusia 18 tahun yang menjawab benar. Responden berusia 28 tahun yang menjawab dengan pas cuma 6, 8 prosen. Berdasarkan data yang sama dari IFLS, cuma seputar 55 prosen responden lulusan SD yang dapat menjawab secara benar masalah pengurangan ini : 49-23 =. . . .

Rendahnya kapabilitas bermatematika ini, menurut Niken, hampir rata di semua propinsi - ada 13 propinsi - di Indonesia yang disurvei melalui IFLS. Hal masyarakat Pulau Jawa serta luar Jawa, ataupun hal tingkat ekonomi, nyatanya pun tidak banyak pengaruhnya pada kapabilitas matematika. " Nyatanya mereka yang keadaan ekonominya lebih baik serta datang dari wilayah perkotaan kapabilitas matematikanya tidak semakin bagus, " kata Niken.

Apa sumber persoalannya, jawabannya dapat benar-benar kompleks. Di tiap-tiap wilayah dapat beda masalahnya. Semisalnya, kenapa pelajar di kota Yogyakarta rata-rata wawasan matematika serta pelajaran lain semakin bagus dibanding dengan beberapa daerah lain. Apa karena hal budaya, riwayat atau ada hal lain? Itu lah yang sedang di teliti oleh Niken serta teman-temannya. " Siapa tahu dapat ditiru wilayah lain, " ujarnya.

Membuat perubahan kurikulum saja, menurut Niken, tidak cukup sebab bagaimana kurikulum itu di uraikan di kelas, benar-benar tergantung pada kapabilitas guru jadi ujung tombak. " Sudah sekian tahun, evaluasi matematika di sekolah berasa garing, tak berarti, serta jauh dari keadaan kontekstual, " kata Khairuddin, Ketua Umum Ikatan Guru Mata Pelajaran (IGMP) Matematika. " Edukasi kita di sekolah condong cuma drill, menuntaskan angka serta beroleh nilai. "

Di beberapa negara yang punyai posisi PISA ataupun TIMMS tinggi, menurut Khairuddin, edukasi matematika dikerjakan dengan aktivitas-aktivitas yang menyulut mathematical thinking, dengan mengkaitkan ke kehidupan sesehari. Kurikulum matematika di Indonesia memang mulai menuju ke sana. " Sayangnya, rujukan simpatisan dari Kementerian Pendidikan masih jauh dari keterkaitan kontekstual serta eksplorasi ide. "

Metode kursus pada guru, harus juga dirombak keseluruhan. " Kursus saat ini relatif cuma memakan uang negara. Tak menurut keperluan, " ujarnya. Walhasil, jadi berlebihan. " Sepulang kursus, tetap guru masih gunakan skema edukasi lama sebab tak punyai kesadaran pergantian atau tidaklah ada observasi, " kata Khairuddin.

Dahulu, kala Muhammad Nur Rizal bisa beasiswa berkuliah di Monash University, putra sulungnya turut geser ke Australia. Karena waktu tinggal di Yogyakarta sang anak udah masuk Sekolah Basic, sekolahnya juga turut geser ke Negeri Kanguru.

Biarpun tidak dapat berbahasa Inggris, nyatanya anak itu malahan benar-benar nikmati bersekolah di Australia. Beda jauh dengan kala bersekolah di Yogyakarta. Pengalaman anaknya yang demikian bahagia sepanjang bersekolah di Australia itu lah sebagai sumber buah pikiran Muhammad Nur Rizal serta istrinya, Novi Poespita Candra, kedua-duanya dosen di Kampus Gadjah Mada, meningkatkan Pergerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) .

Menurut Rizal, bagaimana kita bicara masalah wawasan serta menguasai materi pelajaran, apabila anak tidak puas serta tidak nikmati ada di sekolah. Ditambah lagi apabila bicara masalah matematika, pelajaran yang konon jadi momok banyak murid sekolah. " Kita kurang hands on learning hingga menguasai matematika cuma buat menuntaskan masalah abstrak saja yaitu cuman mengingat atau dikit mendalami rumus-rumus, tetapi kurang dapat menempatkan rumus-rumus dalam kesulitan sesehari, " kata Rizal, kemarin.
Artikel Terkait : rumus deret geometri

Kita kurang hands on learning hingga menguasai matematika cuma buat menuntaskan masalah abstrak saja yaitu cuman menghapal
Walaupun sebenarnya, banyak masalah sesehari di seputar kita yang memang butuh matematika. Semisalnya, kala seseorang anak ingin beli kue yang harga per potong Rp 2200, sesaat ia punyai uang Rp 20 ribu. Berapakah potong kue yang dapat ia beli? Berapakah uang kembaliannya?

Edukasi matematika di negeri ini, kata Rizal, masih terlampau jadoel, cuma memburu penyelesaian masalah dengan hafalan. Walhasil, akal-sehat matematika anak buat menuntaskan kesulitan dalam kehidupan kurang berkembang. Walaupun sebenarnya soal-soal penalaran atau mode high order thinking skills (HOTS) itu lah yang digunakan dalam tes PISA. " Pemerintah sadar keperluan menambah score PISA, tetapi lupa menambah kapabilitas guru supaya dapat mengajar secara HOT sekalian membuat ekosistem evaluasi yang menyenangkan, beri motivasi serta memberikan area eksplorasi ataupun ekspresi seluas-luasnya pada siswa, " Rizal menjelaskan.

Pola pendidikan yang dirintis oleh GSM, menurut Rizal, berubah menjadi counter cerita pada arah pendidikan di Indonesia yang sangat berkiblat pada standarisasi serta pemberian materi pelajaran yang terlalu berlebih hingga jadikan sekolah bukan tempat belajar yang asik serta menyenangkan. " Pola pendidikan GSM yakni memanusiakan manusia serta memerdekakan akal-sehat, " kata Rizal.

No comments:

Post a Comment