Saturday, October 12, 2019

Ini Dia Perlakuan Aparat terhadap Penghuni Asrama Papua di Surabaya

Pekikan cacian bersuara rasis yang menampung beberapa nama binatang dari beberapa orang mencengangkan Dorlince Iyowau (19 tahun) yang tengah ada dalam asrama mahasiswa Papua, Jalan Kalasan No. 10, Surabaya, Jawa Timur pada Jumat (16/8/2019) sore. Sore itu ada 15 orang dalam asrama. Mereka tengah beres-beres lantaran akan ada acara esok hari disana. Beberapa orang yang salah satunya disangka ada anggota TNI itu mulai menggedor-gedor serta menyebabkan kerusakan pagar, banyaknya mereka lebih kurang 15 orang. Dorli tidak mengerti argumen kemarahan beberapa orang itu, namun dia mengira tindakan itu terjalin dengan tiang bendera yang patah di muka asrama. Menurut Dorli, bendera itu udah berkibar semenjak kemarin serta tiada penghuni asrama yang mempersoalkan. Tetapi, mendadak saja tiang bendera itu patah serta beberapa mahasiswa Papua di asrama didakwa jadi pelakunya. Keadaan kian menakutkan, Satpol PP serta bermacam organisasi masyarakat banyak yang datang mengepung asrama. Ujaran-ujaran rasis penuh kedengkian terlontar dari mulut mereka semenjak sore.
Simak Juga : contoh teks anekdot singkat

Mahasiswa yang ketakutan cuma dapat kumpul di aula asrama sambil meredam lapar selama malam. Mujur pada 17 Agustus siang, 27 mahasiswa Papua lain ada ke asrama untuk bawa makan. Tetapi mereka tidak dapat keluar, keseluruhan ada 43 mahasiswa yang saat ini terkurung. Lihat juga : Kejadian Penangkapan 42 Orang di Asrama Papua Surabaya Vs Mahasiswa Menampik Menyerahkan Diri Polisi serta tokoh lingkungan ikut ada serta mengharap mahasiswa lekas menyerahkan diri. Permohonan itu aneh menurut mahasiswa, lantaran mereka rasakan tidak sempat melaksanakan kekeliruan apa-apa. " Kami menampik, kami bertahan lantaran kami rasakan itu rumah kami, " kata Dorli. Pada akhirnya sore hari kepolisian memaksakan masuk ke asrama dengan kebolehan penuh. Gas air mata penuhi asrama, lebih kurang empat mahasiswa lantas terluka dalam peristiwa itu. Semasing di pelipis kanan, di punggung, di kaki lantaran terserang gas air mata, serta tangan keseleo. Mereka digelandang ke Mapolres Surabaya untuk dikontrol sehubungan sangkaan perusakan bendera yang dilaporkan ke kepolisian pada 16 Agustus. Dalam kontrol itu mahasiswa mengakui tidak tahu menahu atas rusaknya tiang bendera di muka asrama, terkecuali itu tidak diketemukan bukti lain yang mengatakan mahasiswa menyebabkan kerusakan bendera. Pada akhirnya mereka dilepaskan pada 17 Agustus larut malam. " Hingga sampai semalam statusnya masih jadi saksi. Belumlah ada penentuan terduga, " kata Koordinator KontraS Surabaya Fatkhul Khoir yang mengikuti mahasiswa waktu dihubungi Tirto pada Minggu (18/8/2019) pagi. Walaupun demikian, beberapa mahasiswa masih rasakan tidak aman atas peristiwa dua hari itu. Mereka saat ini sudah bekerjasama dengan kepolisian untuk pastikan keadaan terus aman.
Artikel Terkait : contoh teks prosedur sederhana

 Tindakan represi pada mahasiswa Papua pula berlangsung di beberapa wilayah lain seperti Ternate, Ambon, Malang, serta Jayapura. Sedikitnya 19 mahasiswa Papua terluka dalam peristiwa itu, sesaat yang lain diamankan kepolisian. Rasisme yang Masih Kental Aktivis Komunitas Rakyat Indonesia Untuk West Papua (FRI-West Papua) Surya Anta menilainya cacian dengan yang menampung beberapa nama binatang pada beberapa mahasiswa di asrama Papua berarti masih kentalnya kedengkian berbasiskan ras pada orang Papua. Ini menurut dia tragis pada saat pemerintah pula tiada henti mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) Papua. Masalah ini membuat Surya terkenang pada pengakuan bekas wakil kepala Tubuh Penyelarasan Intelijen Negara (BAKIN) Ali Moertopo : " Jakarta tidak tertarik pada orang Papua namun wilayahnya. " Hal tersebut dia berikan di depan anggota Dewan Musyawarah Papua (DMP) di Jayapura sekian hari saat Pemutusan Arahan Rakyat (Pepera) . Apa disampaikan Ali Moertopo menurut Surya merasa sampai sekarang. Stigma serta stereotype pada orang Papua masih tetap kental, dimulai dari tukang mabuk, tukang gaduh, hingga sampai tidak dapat dididik, serta dirasa 1/2 binatang. Pemerintah Indonesia lantas dianggap jadi faksi yang mengawali serta melanggengkan stigmatisasi serta stereotip itu. Sebutlah pengakuan Wakil Walikota Malang Sofyan Edi Jarwoko yang buka pilihan pengusiran pada mahasiswa Papua di Malang. Kampus-kampus yang menyimpan mahasiswa Papua lantas disuruh membuat pakta reliabilitas cinta NKRI. Walaupun sebenarnya, hingga sampai sekarang belum jelas duduk masalah yang berlangsung di Malang pada 15 Agustus 2019 saat lalu. Pemerintah langsung membuat rangkuman mahasiswa Papua biang keladi bentrokan itu. " [Stereotype] itu mau bikin mental orang Papua kian rendah sampai derajat orang Jawa, orang Indonesia, itu tambah tinggi sampai orang Papua mesti patuh pd orang Indonesia, " kata Surya di Menteng, Jakarta Pusat pada Minggu (18/8/2019) . Lihat juga : KontraS : Tidak Ada Mahasiswa Papua Jadi Terduga Perusakan Bendera Muak dengan Rasisme Ambrosius, aktivis dari Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Se Indonesia (AMPTPI) lantas mengakui udah muak dengan bermacam perlakuan rasis terhadapnya serta kawan-kawannya. Dia lantas siap untuk pulang ke Papua kalau memang diusir oleh pemerintah Indonesia. Namun, pemda lain mesti memulangkan masyarakatnya yang tinggal serta cari makan di Papua. Sampai tidak akan ada gesekan di antara penduduk Papua serta non-Papua yang akan datang. " Kami ada ke Jawa sini bukan untuk mencari kerja bukan untuk mencari makan. Kami cuma menumpang kuliah saja. Sesaat beberapa orang yang ada dari sini ke Papua mereka mencari kerja serta mencari makan di tanah kami namun kami tidak rasis semacam itu, wajar saja, " kata Ambrosius di wilayah Menteng pada Sabtu (18/8/2019) . Pengakuan itu memanglah bukan omong kosong, Dr. Jim Elmslie, akademisi University of Sydney, dalam The Asia-Pasific Journal, menyebutkan banyaknya masyarakat asli Papua kian mengalami penurunan di lokasi perkotaan.  Menurut sensus tahun 2010, ada lima kabupaten di Papua yang malah mayoritasnya adalah penduduk non-Papua, diantaranya : Merauke (62, 73%) , Nabire (52, 46%) , Mimika (57, 49%) , Keerom (58, 68%) , serta Kota Jayapura (65, 09%) . Ke-23 kabupaten lain di Papua serta Papua Barat masih didominasi oleh orang asli Papua. Walaupun demikian, ada enam kota lain yang miliki potensi " dikendalikan " orang non-Papua di saat kedepan. Diantaranya, Kab. Jayapura (38, 52%) , Yapen Waropen (21, 91%) , Biak Numfor (26, 18%) , Boven Digoel (33, 04%) , Sarmi (29, 75%) , serta Waropen (20, 41%) . Lihat juga : MUI Papua Caci Rasisme Aparat & Golongan Penduduk di Surabaya Dari data ini, orang non-Papua terkonsentrasi di perkotaan. Di pegunungan, sebagian besar yakni orang asli Papua seperti di Lanny Jaya (99, 89%) , Tolikara (99, 04%) , Yahukimo (98, 57%) , Paniai (97, 58%) , serta Jayawijaya (90, 9%) . Pergantian kombinasi masyarakat itu diakibatkan program transmigrasi oleh pemerintahan Soeharto. Terakhir, dia tidak cuman di ubah oleh transmigrasi, namun beberapa migran ekonomi yang cari keberuntungan ke Papua. Mereka termasuk juga orang Makassar, Bugis, Maluku, tidak cuman Jawa dan seterusnya. Serta hingga sampai ada anekdot : ada ke Papua dengan M-16, pulang dari Papua bawa 16 M. Situasi ini ditambah serta diperburuk melalui kekerasan negara serta gelombang korporasi di lokasi yang paling terutup dari akses peliputan media atau observasi kejahatan kemanusiaan. " Mereka merampas kami punyai alam, serta kami tonton itu, " kata Ambrosius. MUI Papua Mengutuk Rasisme Ketua MUI Papua Saiful Islam Al-Payege mengutuk keras pada golongan penduduk di Surabaya yang menebarkan rasisme pada mahasiswa yang datang dari Papua. Lewat info tercatat yang diterima redaksi Tirto, MUI Papua pula mengharap penegakan hukum yang berada di Indonesia. " Penegakkan hukum mesti di tegakkan pada pelanggar hukum di Indonesia. Stop serta hentikan tiap pergerakan, sikap, pengucapan, tindakan yang ke arah rasisme di Indonesia. Lantaran bangsa kita yakni bangsa yang besar serta banyak etnisnya budayanya serta kebiasaan istiadatnya, " kata Saiful. Kepala Penerangan Kodam V Brawijaya Letkol Arm Imam Haryadi membetulkan ada keterkaitan sebagian orang kenakan pakaian seragam TNI dalam momen di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya. Tetapi dia belum pastikan apa mereka benar anggota TNI atau tidak " Di video itu memang kelihatan ada beberapa orang gunakan busana loreng. Sekarang sedang dilakukan beberapa langkah penelusuran apa beberapa orang itu anggota TNI atau tidak, " pungkasnya pada Tirto, Selasa (20/8/2019) . Imam mengemukakan akan menindak hukum kalau ada anggota TNI yang berperan perlakuan rasis, intimidatif, serta kekerasan pada beberapa mahasiswa Papua. Dia menanti penyelidikan faksi kepolisian, lantaran dalam video yang tersebar dari area ada beberapa orang yang tidak memanfaatkan seragam TNI. " Yang dapat menentukan pelaku itu kelak dari faksi kepolisian. Apa yang menebarkan hoaks atau kedengkian atau barangkali kelompok-kelompok massa yang waktu itu sama sama bertarung, " pungkasnya. ==== Koreksi : Kami lakukan revisi judul artikel di atas sesuai sama permohonan Dewan Wartawan yang terdapat dalam surat no 593 /DP/K/VIII/2019. Dalam kontent awalnya,  kami menulis judul " Nestapa Mahasiswa Papua : Diperlakukan Rasis Namun SDA-nya Dikeruk " kami pindah berubah menjadi " Kesaksian Penghuni Asrama Papua di Surabaya Masalah Perlakuan Aparat " . Atas permohonan Dewan Wartawan kami pula ganti cuplikan pembuka pada paragraf awal tulisan. Cuplikan itu awalnya kami maksudkan untuk menopang publik mengerti asal-usul pecahnya perselisihan di Asrama Papua Surabaya. Kami pula mengimbuhkan info faksi TNI sehubungan momen yang berlangsung di Asrama Papua pada 16 Agustus serta 17 Agustus 2019.

No comments:

Post a Comment