Tuesday, July 9, 2019

Jangan Lewatkan Belajar Keluguan dan Kesederhanaan ala Humor NU

Telah tertawa ini hari? Bila belum, gak apalah jikalau Anda telah tersenyum.

Bila tersenyum juga belum, nampaknya Anda butuh sering-sering berlatih menarik otot bibir menjurus dua bagian.

Kata banyak pakar komedi, ketawa serta tersenyum membuat orang lebih bahagia.

Semestinya bukan satu kebetulan semata kalau adat komedi berada di tiap kumpulan manusia.

Baca Juga : pengertian teks anekdot

Dari jejeran komedi Indonesia asli kita kenal guyonan Madura, plesetan Yogya, banyolan antaretnis, parodi dibanding Orde Baru, sampai senda canda ala Nahdlatul Ulama (NU) .

Dari sejumlah umpama itu, nampaknya khazanah komedi NU-lah yg paling gak populer.

Maklum, meskipun perbendaharaannya benar-benar kaya, namun banyolan NU sering cuma dimengerti oleh mereka yg ketahui idiom-idiom pesantren.

Dikit serupa dengan anekdot Madura, komedi NU kerap mempunyai kandungan faktor keluguan dunia pesantren yg simple.

Yup, berkesan polos serta apa yang ada.

“Umumnya penduduk NU ‘kan orang desa. Jadi hidup mereka enjoy. Jika berjumpa, ya guyon, ” papar Gus Mus (KH Mustofa Bisri) , pengasuh pesantren Raudlatut Tholibin, Rembang.

Selanjutnya salah satunya keluguan mereka.

Alkisah, dalam sesuatu pesantren di Jawa Timur, diselenggarakan seminar dengan pembicara KH Sahal Mahfudz dari Pati (saat ini Rais Aam Syuriah PBNU) .

Baca : Hasyim Asyari, Kakek Gus Dur, Pendiri Pesantren Tebuireng yg Tak Selalu saja Mengajari Pengetahuan Agama

Untuk banyak santri yg tiap hari membaca kitab kuning (literatur classic) , kata “seminar” masih asing di telinga.

Maklum, itu adalah seminar pertama untuk mereka.

Tuntas seminar, Kyai Sahal selekasnya undur diri sebab satu kepentingan.

Sebab satu rintangan, sang kyai tuan-rumah tak turut hadir seminar.

Disaat pulang, dia bertaya terhadap santrinya, “Bagaimana seminarnya? ”

Dengan muka gak berdosa, santri itu menjawab, “Seminarnya telah pulang, Kyai! Telah saya mengantarkan. ”
Simak Juga : contoh teks anekdot singkat


Itu contoh keluguan santri, bagaimana dengan “kasta” kyai?

Rupanya, mereka juga gak kalah konyolnya.

Kita baca narasi Akhmad Fikri, penulis buku TawaShow di Pesantren (Penerbit LKiS, Yogyakarta) .

Satu kali, Gus Dur bertandang ke satu pesantren di Probolinggo, Jawa Timur.

Dia hadir berbarengan AS Hikam.

Kejadian ini berlangsung sebelum Gus Dur berubah menjadi presiden.

Baca : Harlah NU : Sedih pada Masyumi, Nahdlatul Ulama juga Pernah Berubah menjadi Partai Politik

Tuntas dakwah, Gus Dur pamit terhadap kyai tuan-rumah untuk melanjutkan kunjungan ke pesantren seterusnya.

Sembari pamit, Gus Dur menyebutkan, “Aku titip Hikam di sini. ”

Masa itu AS Hikam belum tenar. Sang kyai mengira “Hikam” merupakan nama satu kitab.

Dia juga menyepakati demikian saja pesan Gus Dur.

Demikian Gus Dur pergi, sang kyai selekasnya cari “kitab” itu.

Dicari-cari gak berjumpa, selanjutnya dia mengerahkan banyak santri untuk cari dimana kiranya kitab itu ditempatkan.

Kekonyolan ini baru selesai sesudah dia dikasih tahu oleh seseorang santri yg kebetulan sudah kenal nama AS Hikam.

“Oh… jadi Hikam itu nama orang. ”

Masih terkait keluguan penduduk NU, kejadian ini berlangsung di gedung PBNU di Jln. Kramat Jakarta.

Serombongan pengajian ibu-ibu, coba lift untuk naik ke lantai atas.

Waktu ingin masuk lift, mereka melepas sandal seperti ingin masuk ke area yg berlantai suci.

Disaat lift hingga sampai di atas serta pintu terbuka, mereka was-was, “Lho, sandalnya dimana? ” (emshol)

No comments:

Post a Comment