Monday, November 11, 2019

Jangan Lewatkan Abdul Kahar Muzakkir, Muhammadiyah dan Kepahlawanan

Abdul Kahar Muzakkir jadi salah di antara satu dari enam tokoh yang diberi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah Indonesia pada Jumat (8/11/2019) di Istana Negara. Gelar itu dikasihkan atas perjuangan serta loyalitas Abdul Kahar yang tokoh Muhammadiyah kelahiran Gading, Yogyakarta itu.

Dengan penghargaan ini, jadi komplet paket tiga tokoh kemerdekaan dari Muhammadiyah yang diputuskan jadi Pahlawan Nasional. Ke-3 tokoh itu beruntun, ialah Ki Bagus Hadikusumo tahun 2015, Kasman Singedimedjo tahun 2018, serta tahun 2019 Abdul Kahar Muzakkir.

Andilnya di sektor politik nasional tidak tanggung-tanggung. Abdul Kahar satu diantara tokoh yang merangkum pendirian negara Indonesia. Dia terkait dalam anggota Tubuh Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) .

Ulasan dalam sidang tubuh ini ialah mengenai Indonesia Merdeka, Pembukaan, serta Batang Badan UUD 1945, yang mencakup : lokasi negara Indonesia ; bentuk negara (kesatuan) ; bentuk pemerintahan (republik) ; bendera nasional (Merah Putih) ; serta bahasa nasional (Bahasa Indonesia) .

Tetapi dalam sejarahnya, ulasan jadi seru sewaktu mulai sentuh fundamen negara. Pada prinsipnya sidang terdiri jadi dua, di antara yang beri dukungan Indonesia berdasarkan terhadap Islam atau Indonesia jadi negara sekular. Dua tokoh Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo serta Abdul Kahar Muzakkir ialah dua tokoh yang beri dukungan teguh Islam jadi fundamen negara.

Belum mendapapatkan kesepahaman, karenanya dibuat Pantia Sembilan buat menemukannya jalan tengah dalam perumusan fundamen negara. Peranan Abdul Kahar Muzakkir jadi komplet buat dicatat riwayat. Dia jadi anggota kepanitiaan ini bersama dengan Sukarno, Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo, M. Yamin, Wahid Hasjim, Abikusno Tjokrosoejoso, Haji Agus Salim, serta A. A. Maramis.

Dalam sidang BPUPKI Abdul Kahar Muzakkir sempat dengan geram sembari menggebrak meja minta kejelasan supaya Indonesia membuat seluruhnya Islam jadi fundamen negara, atau mungkin tidak benar-benar.

Sehabis lewat berbagai diskusi seru dalam perundingan alot pada sidang Panitia Sembilan tanggal 22 Juni 1945, lahirlah rumusan fundamen negara RI yang diketahui jadi Piagam Jakarta atau Jakarta Charter yang terdiri dalam : 

1. Ketuhanan dengan keharusan jalankan Syariat Islam untuk pemeluk-pemeluknya
2. Kemanusiaan yang adil serta beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat peraturan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial untuk seluruhnya rakyat Indonesia

Sehabis menyetujui rumusan fundamen negara, kendati kedepannya pada tanggal 18 Agustus 1945 kata “menjalankan Syariat Islam untuk pemeluk-pemeluknya” dihapus dalam sila pertama serta jadi “ketuhanan yang Maha Esa”, sidang BPUPKI sesudah itu membicarakan mengenai perangkat-perangkat negara merdeka yang lain, satu diantara yang penting ialah merencanakan Undang-Undang Fundamen (UUD) .
Simak Juga : paragraf adalah

Sikap prinsip Abdul Kahar masih gak beralih. Hal demikian ditunjukkannya masa jadi wakil Partai Masyumi dalam Sidang Konstituaten 1957. Jadwal sidang ini diantaranya ialah kembali membahas permasalahan fundamen negara.

Abdul Kahar Muzakkir, jadi satu diantara tokoh Islam yang bicara mengenai Islam jadi fundamen negara, bersama dengan tokoh lain seperti Buya Hamka, Moh. Natsir, Mr Kasman Singodimedjo (Masyumi) , KH Saifuddin Zuhri, KH Masykur, KH Wahab Hasbullah (Partai NU) serta yang lain.


Dalam sidang itu, Abdul Kahar Muzakkir bercerita kembali riwayat lahirnya Pancasila serta Piagam Jakarta jadi bukti kesepahaman banyak tokoh bangsa. Dia menampik fraksi Islam dituding jadi pengkhianat bangsa. Malahan dia menunjuk balik jika yang meniadakan Piagam Jakarta-lah sebagai pengkhianat.

”…akan namun Pancasila itu telah dirusak. Lantaran prinsip-prinsip yang menghadirkan akhlak yang baik dan mulia karena ada Pancasila Piagam Jakarta itu sudah hilang dari bentuk Pancasila, yang pada awalnya sebagai agreement itu sudah dicederai dengan menyengaja. Itu bermakna juga jika persetujuan itu sudah dihentikan dengan menyengaja. Itu bermakna juga jika persetujuan itu sudah dihentikan dengan kehendak ‘eenzijdig’. Saya ungkapkan atas kehendak satu faksi, adalah faksi berkebangsaan.

Karenanya dengan adanya ini, tegas saya ungkapkan jika orang bicara mengenai pengkhianatan pada satu persetujuan yang disebutkan ‘Gentlemen Agreement’, karenanya faksi yang mengkhianati itu bukan faksi kami, faksi Islam, namun, faksi yang membuat perubahan tersebut, ialah yang menghapuskan rumusan-rumusan yang essensil yang berkenaan Islam itu. ” (Abdul Kahar Muzakkir, 2001)

Pada akhirnya Sidang Konstituaten ditutup dengan dekrit presiden 5 Juli 1959, yang menjelaskan : “Bahwa kami berkeyakinan jika Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 meresapi serta sebagai satu serangkaian kesatuan dengan konstitusi itu. ”. Hingga memposisikan Piagam Jakarta jadi sisi yang resmi serta gak dipisahkan dari Konstitusi Negara NKRI, UUD 1945.

Lihat andilnya dalam riwayat pembentukan Negara Republik Indonesia, tokoh segenting Abdul Kahar Muzakkir masih sangat asing di telinga kita, bahkan juga halaman Wikipedia cuma memberikan sejumlah paragraf saja buat memaparkan tokoh ini.

Namanya memang kerap tertukar dengan tokoh Islam dari Sulawesi Selatan, Kahar Muzakkar. Bahkan juga banyak penulis riwayat yang salah menuliskan, J. D. Ledge contohnya, dalam Sukarno, A Political Biography sudah mengetahui dua Kahar pada naskah, namun mengubahnya jadi seorang pada sisi indeks. Pula dalam Indonesia & Malay Students In Cairo in 1020’s, William R. Roff gak mengetahui Kahar Muzakkir serta Kahar Muzakkar.

Menurut Lukman Hakiem, Peminat Riwayat serta eks Staf M. Natsir, hal demikian terpenting sekali sebab karakter tawadhu, “para pemimpin kita di waktu dulu yang tidak pingin mencatat serta menuliskannya apa yang sempat mereka kerjakan buat negeri ini, serta riwayat lantas kurang berbaik hati buat mencatat fungsi mereka, ” katanya.

Beberapa buku riwayat politik serta konstitusi Indonesia, seperti lupakan tokoh kelahiran Yogyakarta ini, walaupun sebenarnya Abdul Kahar ialah anggota Tubuh Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang pada 1 Juni 1945 mengemukakan pikirannya berkenaan fundamen negara Indonesia yang dapat dibuat.

Artikel Terkait : perbedaan peredaran darah besar dan kecil

Abdul Kahar Muzakkir ialah tokoh Muhammadiyah yang begitu dihormati. Beliau, contohnya, oleh Suara Muhammadiyah dipanggil “Pemimpin Teladan”, yang punya arti, favorite seluruhnya penduduk Islam Indonesia ; atau masyarakat Muhammadiyah sekurang-kurangnya. Predikat “Pejuang Kemerdekaan” pula menempel di dianya yang menunjukkan, beliau tidak sekedar terus-terusan berpikir masalah akhirat saja.

Abdul Kahar Lahir tahun 1908 di Gading, Yogyakarta serta mengawali pendidikannya di Sekolah Fundamen Muhammadiyah Kota Gede, dimana dia besar serta meninggal dunia. Lalu sekolahnya diteruskan di pesantren Mambaul Ulum di Solo. Setelah itu di pesantren Jamsaren di Jawa Tengah serta di Pesantren Tremas di Jawa Timur. Seterusnya dia menyambung sekolah ke Kairo Mesir.

Abdul Kahar sewaktu belajar di Kairo, memang ketahui sangat aktif pada hampir seluruhnya kesibukan kemahasiswaan. Beliau contohnya, sempat jadi wakil untuk mahasiswa Jawah “istilah yang umum diperlukan di Timur Tengah pada pelosok dunia Islam di Asia Tenggara. ” Beliau pula yang ber ”kasak-kusuk” sewaktu Jamiyatul Syubban Muslimin (Organisasi Sosial Mahasiswa Indonesia di Kairo) dibuat.


Organisasi berikut ini yang punyai Jurnal Teriakan Azhar, satu sub organisasi yang setelah itu jadi media penting untuk penebaran pesan perubahan Islam serta penggalangan persatuan Islam dari Kario ke dunia Islam Asia Tenggara.

Pengalamannya yang memesona ialah sewaktu turut membuat “Perhimpunan Indonesia Raya” di Kairo, pada tahun 1933. Di sini, buat kesekian kalinya, beliau memperoleh kehormatan sewaktu dipercayakan jadi orang pertama, pemimpin organisasi yang nyata-nyatanya satu jaringan dengan “Perhimpunan Indonesia” di Negeri Belanda.

Banyak mahasiswa yang terkait dalam PI di negeri Belanda tersebut yang kenyataannya sebagai perintis gerakan nasionalisme antikolonial yang radikal. Sewaktu semua moment radikal-revolusioner di negeri penjajah itu berjalan, Ketua PI ialah Soekiman Wirjosandjojo.

Dibanding dengan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang berhenti pada penggabungan kemauan dapat bangsa yang satu, tanah air yang satu, serta mengangkat bahasa persatuan ; Manifesto Politik Perhimpunan Indonesia 1923 sudah melewati kemauan Sumpah Pemuda itu serta membuat “Indonesia Merdeka, saat ini! ” jadi maksud perjuangan.

Pada beberapa tahun awal mulanya, 1930-an, Abdul Kahar pula banyak dijumpai sering “berkelana” ke beberapa pelosok Timur-Tengah buat menuruti berbagai konperensi Islam tingkat dunia, jalankan pekerjaan jadi duta Indonesia sebelum merdeka.

No comments:

Post a Comment