Friday, February 15, 2019

Simaklah Spiritualisme Hujan

DALAM manifesto sastra religiusnya, Kuntowijoyo menyebutkan kalau norma profetik terdiri atas tiga bagian, yakni liberasi, humanisasi, serta transendensi. Liberasi bersangkutan dengan pembebasan, humanisasi proses pemanusiaan,  serta transendensi terjalin dengan kesadaran ketuhanan. Pada norma yang paling akhir, Kuntowijoyo mencatat kalau seseorang pengarang mempunyai pekerjaan ganda. Jadi manusia dia merupakan saksi eksistensi Tuhan. Jadi pengarang, dia jadi saksi rahasia Tuhan sebagai daftar tersembunyi.

Beberapa puisi dalam Hujan yang Mengguyur di Selama Daya ingat karya B. H. Riyanto mengartikulasikan salah satunya norma maklumat sastra profetik itu. Riyanto mainkan peranannya jadi pengarang sebagai saksi kreatif-imajiner dengan mengurai misteri kebesaran Ilahi dalam terma hujan serta semua asosiasinya—gerimis, mendung, pelangi. Memang, pada sejumlah puisi, hujan dalam buku itu cuma jadi ornament dari kejadian yang ingin penyair kisahkan. Akan tetapi, pada puisi-puisi yang berbeda, hujan jadi figurasi dari peristiwa-peristiwa transendental.
Baca Juga : pengertian teks eksplanasi

Dalam Tanah-Mu Basah Kembali, umpamanya, hujan merupakan kepanjangan tangan Tuhan yang sangat mungkin kehadiran dunia. Harum aroma tanah-Mu menyodok/sehabis kemarau panjang meranggaskan reranting/disirami khusyuk hujan sepagi/tanah-Mu basah kembali// (hlm. 1) . Hujan pada puisi itu adalah metonimia daya feminin Ilahi yang mengembuskan hidup terhadap tanah yang udah kerontang dikonsumsi kemarau. Dalam teologi Kristianitas, umpamanya, kerja keilahian maujud dalam pribadi Roh Kudus yang sangat mungkin dunia ada. Roh Kudus, Rahim (dalam Islam) , atau Shekinah (dalam Yahudi) merupakan ikon Tuhan yang feminin serta meniupkan napas dan cinta terhadap makhluk.

Selain itu, puisi Pelangi diunjukkan seperti lukisan pastoral atau sajak-sajak romantik yang memoto lanskap alam pascahujan : Sebusur pelangi melengkung manis/di rimbun gerimis/senja ini//Di pojok yang berbeda mendung/masihlah menggantung// (hlm. 6) . Pada puisi ini, bait pertama serta ke-2 ada jadi sampiran. Pembaca akan mendalami tujuan yang diungkapkan dengan demikian verbal pada bait sesudah itu : Jadi berikut ini selukisan ayat-ayat-Mu/kembali menampar kedunguanku/mengajari permainan hidup/sebenarnya// (hlm. 6) .

Pengakuan pada bait paling akhir adalah eksplanasi atas uraian bentangan alam pada bait pertama serta ke-2. Dengan suara didaktik yang sangat telanjang, puisi itu mau memberikan ajaran mengenai isyarat (ayat) eksistensi Tuhan yang bukan cuma tersebut dengan skriptual lewat kitab suci (qauliyah) , namun ikut terhampar di alam (kauniyah) . Pada puisi Pelangi, pemandangan pascahujan merupakan persamaan kata penampakan muka Ilahi (tajalli) .

Mistifikasi dari suatu hal yang imanen dalam karya Riyanto bukan cuma disematkan pada hujan, namun ikut, umpamanya, pada capung dalam puisi Seekor Capung Hijau serta Isyarat Musim. Alegori mengenai momen mistik pada puisi-puisi itu memperingatkan kita pada personifikasi laron dalam literatur sufisme. Seekor laron jadi seperti dari seseorang peminat, ketujuan objek cinta (Tuhan) yang disimbolkan dengan sinar dalam kejadian unio-mystica. Sayang sekali, dengan semiotik, Riyanto tak mengijinkannya pembaca terhubung arti mistis puisi-puisi itu karena di sana-sini penuh bolongan. Kita cuma sanggup berspekulasi mengenai apakah yang direpresentasikan capung pada puisi itu.

Bila pada puisi Tanah-Mu Basah Kembali hujan merupakan berkah, dalam sajak-sajak yang berbeda, hujan serta semua asosiasinya jadi simbol demikian sebaliknya. Mendung merupakan majas yang menyubstitusi dosa. Kesalahan-kesalahan itu pada waktunya kelak menjelma maut yang meneror manusia.
Simak Juga : contoh teks eksplanasi singkat

Pada puisi Mula-Mula Mendung Menggumpal, umpamanya, dosa merusak manusia lewat petaka. Selintas, puisi ini berkesan apokaliptik. Akan tetapi, bila diperhitungkan lagi, puisi itu malahan menarasikan momen katarsis—yang tetap mengikuti tragedi. Dosa yang menjelma banjir bandang menyapu kemurnian primordial manusia (disimbolkan dengan keluarga serta kampung halaman) , namun juga sekaligus menggerakkan hamba ketujuan cinta sejati serta kasih kekal (Tuhan) . Riyanto menarasikan momen puncak spiritual itu dalam bait terus/semua yang kita cinta/lesap mendadak/terbawa arus bah/menujumu! // (hlm. 13) .

No comments:

Post a Comment