Wednesday, December 11, 2019

Yuk Simak Selagi Ia Menulis Cerita Pendek Ini

IA ingat pada ucapanmu, yang sudah pernah kau jelaskan sekian tahun lalu, di halte bis yang sepi pada waktu dua puluh dua, seberang Grand Indonesia, ”Apa kamu mencintaiku? ”

Usianya baru delapan belas tahun masa itu. Namun, dia sudah pernah mengatakan dengan jujur kalau dia mengagumimu. Kau berusia tiga puluh tahun. Kau merasakan pertalian kalian sedikit ganjil. Ketidakcocokan umur yang tidak umum.

”Kamu seumuran dengan adik bungsuku, ” dia ingat dengan kata-katamu ini waktu menulis paragraf ke-3 narasi pendeknya.

”Lalu? ”

”Kamu gak malu jalan denganku? ”

”Kamu cantik, mengapa saya mesti malu? ”

Dia memang mengemukakan itu. Dia jujur. Akan tetapi, dia masih bertanya-tanya saat ini, mengapa dia tidak menjawab waktu kau ajukan pertanyaan, ”Apa kamu mencintaiku? ”

***

IA mencapai gelas kopinya, hirup didalamnya perlahan-lahan sambil matanya memandang monitor komputernya. Dia masih menulis narasi pendek ini saat daya ingat tentangmu menyerangnya tidak dengan ampun.  Kau tahu? Matanya berkaca-kaca serta bisa jadi saat ini dia tengah menyesal, mengapa dia tidak sudah pernah menjawab pertanyaanmu malam itu.

”Kenapa kamu mesti nanya begitu? ” dia malahan balik ajukan pertanyaan tidak dengan mengindahkan air wajahmu yang beralih. Kau memandang lurus ke jalanan yang lengang. Kalian duduk rapat, namun tidak ada yang mengawali untuk sama sama mencapai tangan yang tertumpu di bangku halte.

”Aku hanya ingin tahu saja, ” itu saja yang kau jawab.

”Apa sebab umur? ”

”Maksudmu? ”

”Kamu pingin lekas menikah? ”

Kau diam sesaat, meluruskan punggung, membuat ke dua lenganmu yang menumpu di bangku berubah menjadi lurus. Sepasang matamu lari ke kegelapan malam yang pucat, terpendar-pendar sinar lampu jalanan.

”Apa saya nampak tua? ” kau kembali ajukan pertanyaan.

Ia menggeleng. ”Hanya dewasa. ”

Kau tergelak, dia menyeringai.

”Teman-teman sebayaku telah menikah semua. Rata-rata telah miliki anak balita. ”

”Jadi, kamu pingin lekas menikah? ” dia kembali ajukan pertanyaan.

Kau menengok, melacak suatu dari bola matanya. ”Kamu tak merokok, kan? ” kau seakan menggeser percakapan.

”Ya, ” ia tingkatkan ke dua alisnya.

”Bibirmu merah serta seksi. ”

”Jangan mengatakan kau pingin mencium bibirku. ”

Kau kembali tergelak. Kesempatan ini tawanya lantas berderai.

”Kau belum menjawab, ” ujarnya sesudah tawanya susut.

”Yang mana? ”

”Apa kamu pingin lekas menikah? ”

Kau menghela napas, ”Menurutmu? ”

Dia menggedikkan pundak.

”Aku telah tiga puluh tahun. Sekejap keriput, lalu menopause. Jika gak segera menikah, tidak ada laki laki yang ingin denganku. ”

”Kata siapa? ”

”Maksudnya? ”

”Tidak ada laki laki yang ingin menikah dengan wanita yang telah menopause. ” Perjelasnya.

”Kata orang lah, ” kau nampak kesal.

”Memangnya menikah cuma untuk berkembang biak? Wanita menopause lantas masih dapat kerjakan hubungan intim. Jika nikah hanya untuk berkembang biak, apa perbedaannya kita dengan hewan? ”

Kau jengkel dengar jawabannya. Kau pilih bungkam, tidak menggubrisnya . Lima menit kalian dibungkus sepi, sebelum bis Mayangsari nomor 9B yang kalian nantikan datang. Dia bangun dari duduknya, menengok sesaat serta berbicara, ”Aku pulang, ya. ” Kau cuma mengangguk.

Waktu menulis narasi pendek ini, dia ingat, dia langsung mengempaskan bokongnya di atas bangku bis, lalu terlelap sampai tak sempat menengok serta lambaikan tangan pada diri kamu yang masih terduduk di halte yang sepi serta gelap itu. Waktu ini juga dia baru sempat ajukan pertanyaan pada diri sendiri, ”Kenapa saya tidak mengantarmu dahulu kembali pada kosmu di belakang Grand Indonesia? Mengapa saya mempersetujui saranmu untuk mengantarku ke halte bis sebab jadi anak Bekasi, saya tidak tahu apa-apa mengenai lokasi itu? ”

Kemungkinan sebab saya masih berusia delapan belas tahun, jawab hatinya. Kuatir.

Simak juga : contoh cerpen singkat

IA masih menulis narasi pendek ini, waktu dia lantas ingat dengan pembicaraan berbarengan kawan baikmu.

Dia serta temanmu itu berjumpa dengan tak berencana di Taman Ismail Marzuki, pada suatu acara literasi. Dia mengupayakan mengingat-ingat acara apakah yang dimaksud. Namun, dia tidak sanggup mengingatnya. Soal yang melekat di kepalanya cuma dia beli buku puisi kawan baikmu itu. Satu buku puisi yang benar-benar telah dia serta kau nantikan sudah lama. Di buku puisi itu, kawan baikmu itu tuliskan satu puisi untukmu serta di kata pengantarnya, kawan baikmu menyebutkan namanya.

Kawan baikmu itu ada berbarengan kekasihnya. Dia serta kekasih kawan baikmu belumlah sempat berhadapan sekalipun. Dia nampak kikuk serta bingung ingin mengawali pembicaraan. Walaupun sebenarnya, kalau saja cuma kalian bertiga ; kau, dia, serta kawan baikmu itu, kalian tentunya akan mengobrol beberapa perihal. Apakah saja. Bahkan juga, kalian tidak enggan ketawa keras-keras sampai pengunjung yang lain merasakan terusik, namun kalian tak perduli.

”Sudah lama, ya, ” kawan baikmu buka pembicaraan.

”Ya, ” dia menjawab sambil memutar-mutar sedotan plastik pada minuman dinginnya. ”Sudah tiga tahun sejak mulai saya serta dia berpisah. ”

”Terakhir kali kita berjumpa waktu makan ramen di Grand Indonesia. Malamnya dia meneleponku. Berbagi sampai pagi. ”

”O ya? ” dia kaget. Waktu menulis narasi pendek ini, dia mengingat-ingat ekspresi terkejutnya. Akan tetapi, dia tidak sukses untuk melukiskan detailnya.

”Katanya, kamu menolaknya. Bahkan juga, kamu yang menurut dia baik serta mencintainya pun menolaknya. Dia merasakan tak layak untuk di cintai serta kembali ajukan pertanyaan, untuk apa dia hidup? ”

Dia merasakan kerongkongannya kering. Diisapnya air minum dingin yang nyatanya tidak sanggup menepis rasa kering itu.

”Aku gak nolak, kok. ” Suaranya bergetar.

”Tapi, kamu tidak mau nikah sama ia, kan? ”

”Aku baru delapan belas tahun masa itu. ”

Senyap.

”Ya, ” kawan baikmu menjawab lirih. ”Kamu sangat muda untuk menikah. Kalau saja kalian seumuran. Saya sangat percaya kalian akan menikah serta bahagia. Namun, mengapa cinta mesti memandang umur? ”

Sampai minumannya tandas serta dia berpisah dengan kawan baikmu itu, dia tidak dapat menjawab pertanyaan yang kawan baikmu lontarkan. Kekasih temanmu pun tidak berbicara apa-apa sepanjang mereka duduk bertatapan di meja yang sama.


Sampel. (Budiono/Jawa Pos)
***

IA masih menulis narasi pendek ini, waktu dia ingat pada teleponmu 1 bulan sesudah pertanyaanmu di halte bis seberang Grand Indonesia itu.

”Kamu apa beritanya? Bagaimana project novelmu? ” Ia mengerti, kau cuma berbasa-basi dengan pertanyaan itu.  Dengan demikian, dia lantas menjawab dengan berbasa-basi juga.

”Baik. Rada macet. Saya mesti konsentrasi ujian nasional. Jika kamu? ”

”Baik, ” suaramu terdengar renyah di cupingnya. ”Eh, saya jalan sama polisi saat ini. ” Kau memperlihatkan pacar barumu. Dia lantas mengupayakan mengingat-ingat waktu menulis narasi pendek ini, apa dia merasakan cemburu ataukah tidak saat dengar ucapanmu itu. Serta dia lupa dengan perasaannya sendiri masa itu.

”O ya? ” sahutnya, cepat. ”Baguslah. Umurnya berapakah? ”

”Dua puluh enam tahun. Namun, ia pekerjaan di Palu, ” suaramu mengisyaratkan perasaan sedih.

”Jadi, kalian LDR? ”
Artikel Terkait : arti Akomodasi

”Ya, ” suaramu bertambah lirih.

Dia terkekeh. Ya, dia ingat. Dia masa itu sungguh-sungguh terkekeh, seperti suka sekali sadari fakta kalau pacar barumu yang polisi itu bekerja di kota yang jauh. Akan tetapi, waktu tuliskan narasi pendek ini, dia tidak bisa pastikan dengan pas apa waktu itu tawanya jadi bentuk bahagia dari kekecewaannya berkat diri kamu telah miliki pacar , namun kalian menekuni pertalian jarak jauh.

”Tapi, dia mencintaiku. Dia janji, libur dinas ini, dia akan mengajakku berjumpa serta memperkenalkan pada ibunya. Kurasa dia akan melamarku. ”

”Baguslah. ”

Serta dia lupa dengan fragmen kelanjutan dari pembicaraan itu. Dia terus mengingat-ingat, namun dia tidak sanggup mengingat apapun. Kemungkinan sesudah dengar ucapanmu itu, dia langsung akan memutuskan perbincangan kalian.

Akan tetapi, dia ingat dengan teleponmu yang ada sekian bulan selanjutnya. Suara tangismu yang pecah serta isak yang muncul terbenam. Dia bisa memikirkan ingusmu yang meleleh berbarengan air mata sambil kau terus ceritakan cerita patah hatimu.

”Ibunya tak sepakat. Ibunya mengatakan saya sangat tua untuk anaknya. Badanku pun sangat lebar. Bahkan juga, ibunya mengatakan, saya sangat pendek menjadi istri satu orang polisi. ”

Dia masih dapat rasakan tangismu menjalar dalam gendang telinganya waktu tuliskan sisi ini dalam narasi pendeknya.

Dia dengerin semua tumpahan kesedihanmu sampai dia jatuh tertidur serta telephone seluler itu masih terus melekat di bantalnya saat dia terjaga paginya. Dia tergesa mengirimimu SMS, ”Sori, saya ketiduran. ” Serta kau menjawabnya beberapa saat selanjutnya.

***

SELAGI dia menulis narasi pendek ini, dia ingat dengan pertanyaanmu, ”Apakah kamu ingin menikah denganku? ”

Umurnya baru delapan belas tahun masa itu serta dia bingung akan menjawab apa untukmu. Lebih saat kau cerita kalau kau menulis satu novel mengenai pertalian kalian berdua. Satu orang wanita berusia tiga puluh tahun yang berpacaran dengan laki laki berusia delapan belas tahun yang tengah duduk di kelas dua belas SMA.

”Tapi, editor penerbit G menolaknya, ” ujarnya. ”Katanya, tokoh laki-lakinya kurang masuk akal. Mana ada anak laki laki seumuran itu demikian dewasa. Sesaat yang wanita telah tua namun malahan kekanak-kanakan. Eh, ia belumlah sempat saja berjumpa kita berdua, ya, ” ujarmu sambil tergelak-gelak. ”Aku pingin kirim naskah novel itu ke Paman Yusi serta Mas Sulak. Ingin tahu arahan mereka apa. ”

”Bisa jadi, kupasan mereka semakin lebih sadis dari editor itu. ”

”Eh, kamu ingin kan nikah denganku? ” kau ajukan pertanyaan .

Dia menghela napas. ”Ya, jika saya telah lulus kuliah serta dapat tuntaskan novelku. ”

”Ya ampun, lama sekali. Lima tahun . Saya telah berusia tiga puluh lima tahun lebih. Entar sulit bisa anaknya. ”

”Siapa yang perduli? ”

Dia tersenyum. Kau pun tersenyum. Lalu, kalian mengupas kelas menulis novel yang memperhadapkan kalian, pun impian-impian mengenai novel yang tidak lekas usai dicatat.

***

IA masih menulis narasi pendek ini, saat dia mendadak ingat kepada kamu serta satu rasa kangen menjalari dadanya. Satu giginya, di sisi depan, rada labil sejak mulai 1 bulan paling akhir. Dia memperhatikannya, pada sisi rumpun gigi itu ada satu lubang kecil, hitam, serta menguarkan berbau rada busuk. Dia ketakutan sendiri serta tidak sabar pingin berkunjung ke dokter gigi. Dia takut gigi depannya tanggal serta dia bertambah nampak tua serta tidak menarik, sesaat dia belum menikah di umur tiga puluh tahunnya.

Waktu narasi pendek ini hampir usai dia tuliskan, dia mendadak menyadari akan arti pertanyaan yang kau lontarkan di halte malam itu. Mendadak saja dia pingin duduk di halte itu bersamamu serta menjawab dalam sekejap tidak dengan berpikir demikian lama, sekian tahun, sampai kau merasakan capek serta pilih jalan lain untuk bahagia. Semestinya dia lekas menjawabmu malam itu, ”Ya, saya mencintaimu. ”

No comments:

Post a Comment